Untuk tugas ke Malang kali ini, saya sudah prediksi dan berancang-ancang untuk menghabiskan pekerjaan di hari pertama supaya bebas keluyuran di hari kedua. Tapi berhubung counterpart kita agak jaim dan pengen supaya keliatan kita rada ‘berat’ kerjaannya, maka diputuskan sisain kerjaan dikit untuk di hari kedua. Alhasil, di hari kedua saya cuma perlu waktu sejam, abis itu celingak-celinguk bingung mau ngapain. Dan yang pasti : Rencana mau ke Bromo jadi gagal total karena waktunya ngga cukup. Hadueh! Di hari pertama udah ngga kemana-mana, cuma ke alun-alun dan Toko Oen (mestinya saya bersyukur dah bisa jalan gitu ya, dibandingkan kalian yang malang ngga bisa kemana-mana kecuali ngantor khan haha…maaf ya!). di ahri keuda lumayan dapet ke alun-alun Batu nyari Ketan Krisdayanti yang tersohor itu (btw rasa ketannya bener kayak Krisdayanti. Kayak apa tuh rasanya Krisdayanti? Tanya Raul dong hahaha
Banting setir, mulai browsing tentang Sendang Biru. Dapet info semalam dari pak sopir kantor bahwa pantai Sendang Biru itu bagus dan ngga sampai 2 jam perjalanan dari Malang. Upps, baru nyadar ternyata Sendang Biru tuh gerbang ke Pulau Sempu. OMG…Pulau Sempu man! Pulau impianku, secara sering diintimidasi oleh blogger-blogger yang dengan kurang ajarnya pamer-pamer mereka udah menjejakkan kaki di sana. Wah, bisa jadi jalan-jalan bagus nih. Mantap deh, mulai mau gosok-gosok pak sopir buat nganterin.
Namun untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Counterpart saya nolak pergi dengan alasan jauh. Hadeuh lagi…saya curiga si bapak ini kayaknya lebih doyan wisata malam hahaha…dan akhirnya beliau memilih ke Gunung Kawi, secara siangnya ada manajer yang promosiin Gunung Kawi. Masih untung si counterpart ngga kemakan cerita tentang candi-candi Singosari. Daaan akhirnya kita berangkat ke Gunung Kawi.
Saya sebenernya keberatan keringanan gitu deh dengan tujuan Gunung Kawi, maksudnya ngga setuju-setuju banget tapi ngga keberatan juga, gimana neranginnya yak? Itung-itung ini perjalanan napak tilas. Alkisah di abad ke 20 tepatnya tahun 1977 saya sekeluarga besar beserta paman, bibi, teteh, aa, nenek (kakek ngga ikut, lupa kenapa) dengan 3 mobil bertolak menuju Gunung Kawi dari Singaraja kampung halaman kami yang permai.
Perjalanan ke sananya, saya lupa. Nginep di mana…lupa. Ngapain aja di sana….lupa. Lah lupa semua, bukan napak tilas mah kalo lupa semuanya.Eits, ada satu yang saya ingat sampai sekarang. Waktu itu saya sok jago ngga mau pake jaket, akibatnya tengah malam bersin-bersin terus dan idung meler dan pake selimut sebagai sapu tangan. Yah, cuma itu yang saya inget. Oh, satu lagi, waktu itu mobil kami bagasinya penuh dengan sapu ijuk, ngga tau buat apa dan ngga jelas maksudnya.
Ok, kembali ke perjalanan saya. Setelah melewati jalan berliku dan mendaki (kok kayak syair lagunya Iwan Fals yah) sampailah kita di parkiran Pesarean Gunung Kawi. Bayar cuma 3 ribu per orang (murah ya, sama dengan biaya BAB di WC Umum). Dari parkiran menuju tempat tujuan lumayan panjang, dan jalannya nanjak. Udah dibeton, tapi ngga berundak. Tau alasannya kenapa ngga berundak? Ya, biar bisa dilalui motor lah, susah amat nyari alasan.
Singkat kata singkat cerita, kita nyampe di gerbang makam. Eh iya, Gunung Kawi ini sebenarnya makam sseorang bernama Eyang Djugo, yang diyakini seperti para wali. Setiap Jumat Legi tempat ini penuh dengan orang yang datang untuk ngalap berkah mau pun yang mau membayar janji karena permohonannya terkabul.
Yang juga membuat tempat ini terkenal adalah adanya pohon Dewandaru, yang diyakini berasal dari tongkat pusaka Eng Djugo yang ditancapkan di sana dan tumbuh jadi pohon (hebat yak, seperti lagu Koes Ploes…tongkat kayu jadi tanaman). Dan kehebatan pohon ini adalah, dia menjatuhkan bunga dan buahnya hanya ke orang-orang terpilih. Barang siapa mendapatkan dan memakan buah dari pohon itu, niscaya permohonannya akan terkabul. Akibatnya setiap Jumat Legi pohon itu dikerubutin orang kayak gula dikerubutin semut. Ngga kebayang gimana suasananya waktu buahnya jatuh ya….hmmm mungkin kayak sembako dilempar ke pengungsi kali ya, kira-kira seperti itulah berebutnya.
Kata pak Modin yang jaga di situ, udah banyak yang dapat buah pohon bertuah itu, di antaranya Oom Liem (Sudono Salim), bos Maspion, pemilik bus Simpatik dll yang namanya disebutin tapi saya ngga kenal. Saya cuma manggut-manggut, tapi mata ngelirik-lirik ke pohon mulai ngincar buah mana yang kira-kira mau jatuh.
Daan tiba-tiba…pluk..nah tuh ada yang jatuh, kata saya. Dan benar, di tanah ada buah Dewandaru yang jatuh. Hmmm, tadi emang dah feeling banget. Buahnya jatuh di dalam pager terkunci (ngomong-ngomong pohon ini akhirnya dikasih pager dan dikunci karena ada orang-orang yang ngga sabaran dan menggoyang-goyang pohon itu kayak mau nyolong mangga). Waktu itu di sebelah saya ada temen saya, tapi si pak Modin ngebuka kunci pager, ngambil buahnya terus ngasih ke saya. Alasan si bapak karena saya ngeliat lebih dulu. Dan si bapak memuji-muji saya sebagai orang yang sangat beruntung karena sangat jarang ada orang yang mendapatkan rejeki seperti ini (dalam hati saya heran juga, itu buah-buah di pohon suatu saat pasti akan ada yang jatuh kan? Dan kenapa pula pak Modinnya sebagi orang yang paling sering ada di sekitar pohon itu ngga mendapat rejeki seperti Oom Liem?)
Dan ujung-ujungnya nih yang ngga enak. Si bapak mengajak saya mengitari makam sambil berdoa berterima kasih kepada Eyang Djugo dan kepada Allah. Lalu, untuk mewujudkan terima kasih itu saya diminta menghaturkan sesajian. Saya tanya, bentuknya apa? Boleh kambing atau sapi pak, katanya mantap. Walah mahal amat sajennya. Ini mah rejeki buat si bapak. Ketika saya mulai memperlihatkan wajah ngga percaya, si bapak mulai menakut-nakuti dengan cerita bahwa orang2 yang tidak mau menerima rejeki dari buah itu malah akan mendapat cilaka. Dan….akhirnya saya ngasih duit 200 ribu. Itu bukan karena saya takut cilaka, tapi lebih untuk menghentikan teror si bapak. Karena lagak-lagaknya dia akan nempel saya terus kemana pun saya pergi sampai saya luluh bersedia ngasih uang sajen.
Asem dah…dah bukan tempat yang saya ingin kunjungi, eh malah mesti keilangan 200 rebu. Kata temen saya, yah jangan disesali lah mas, mungkin mas akan dapet rejeki yang lebih besar. Yah, mudah-mudahan lah…rejeki dan untung ada di tangan Tuhan dan kita sama sekali ngga tau kan?